STRATIFIKASI SOSIAL DI TORAJA

Stratifikasi Sosial di Toraja

Strata Sosial di Toraja


Stratifikasi sosial yaitu pembeda kedudukan seseorang di dalam masyarakat dimana ia berada atau tinggal. Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed social stratification) dan membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian in dipelihara secara turun-temurun.

Di masyarakat Toraja terdapat perbedaan status sosial yang berbeda-beda, mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah. Stratifikasi tersebut dikenal dengan tingkatan berikut:

a.Tana’ Bulaan/To Parenge 
To Parenge' merupakan kasta tertinggi. Pada umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas menciptakan aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok adat, misalnya raja dan kaum bangsawan. Mereka juga menguasai tanah persawahan di Toraja.

b.Tana’ Bassi/ To Makaka. 
Tana’ bassi adalah bangsawan menengah yang sangat erat hubungannya dengan Tana’ Bulaan. Mereka adalah golongan bebas, mereka memiliki tanah persawahan tetapi tidak sebanyak yang dimiliki oleh kaum bangsawan, mereka ini adalah para tokoh masyarakat, orang-orang terpelajar, dan lain-lain.

c.Tana’ Karurung/To Pa'tondokan 
Kasta ini merupakan rakyat kebanyakan atau sering di sebut pa'tondokan. Golongan ini tidak mempunyai kuasa apa-apa tetapi menjadi tulang punggung bagi masyarakat toraja

d.Tana’ Kua-Kua/ Kaunan. 
Golongan kasta ini merupakan pengabdi atau hamba bagi Tana’ Bulaan dengan tugas-tugas tertentu. Misalnya membungkus orang mati dan lain-lain, mereka sangat dipercaya oleh atasannya karena nenek moyang mereka telah bersumpah turun-temurun akan mengabdikan dirinya, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban untuk membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi, seperti Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi.

Dalam hal budaya upacara Rambu solo’, Rambu solo’ bagi orang toraja merupakan budaya yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan unsur  budaya lainnya. Upacara Rambu solo’ diatur dalam Aluk Rampe Matampu  dan mempunyai sistem serta tahapan sendiri. Lebih banyak dinyatakan dalam upacara pemakaman dan kedukaan. Masyarakat Toraja dalam ajaran Todolo memberikan perhatian pada upacara pemakaman, karena upacara ini diyakini sangat istimewa serta mengandung  religi, kemampuan ekonomi, dan kelas sosial.

Dalam kehidupan sehari-harinya, setiap manusia mempunyai suatu pandangan yang berbeda-beda. Begitupula dengan masyarakat Toraja dalam melaksanakan upacara kematian. Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan bahkan bertahun - tahun untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini, bahkan ungkapan bahwa orang toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta rambu solo’. Pandangan lain pun sering muncul, bahwa sungguh berat acara ini dilaksanakan. Sebab, orang yang melaksanakannya harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya tentang upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri’), dan hal inilah yang menyebabkan upacara Rambu solo’ terkait dengan tingkat stratifikasi sosial.

Dulunya, pesta meriah hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang sudah mulai bergeser, siapa yang kaya itulah yang pestanya meriah. Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. (George Aditjondro, 2010:40).


Meskipun demikian dalam masyarakat Toraja ada upacara penebusan (pemulihan) bagi seorang bangsawan yang oleh satu dan lain hal jatuh miskin dan menjadi hamba. Ia dapat saja memulihkan kedudukannya “aluk sanda saratu” (serta seratus) yaitu melakukan pesta (upacara) dengan pengorbanan serba seratus (kerbau seratus, babi seratus, ayam seratus, dan lain-lain). Jadi dalam masyrakat Toraja, pelaksanaan upacara Rambu Solo’ juga harus didasarkan pada tana’.  Ini berarti tingkatan upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama dengan upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi ekonomi. Dengan demikian upacara Rambu Solo’ mencermikan martabat atau harga diri dari suatu keluarga khsusnya golongan bangsawan. Dengan kata lain keberhasilan atau kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan sekaligus menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa sangat malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaimana layaknya







Sumber : http://blogelaila.blogspot.co.id/2013/12/stratifikasi-sosial.html


Komentar

  1. Knp nda boleh orang yg memiki kasta rendah nda boleh kawin dengan kasta yg lebih tinggi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dulu orang yg menikah dengan kasta yg lebih rendah keluarga yg memiliki kasta tinggi akan malu. Tp klw sekarang hal2 seperti itu kadang sudah tidak berlaku.

      Hapus
  2. Dalam perkawinan dimana seorang kasta rendah laki-laki tidak boleh kawin dengan kasta di atasnya,tp sebaliknya kasta laki-laki di atas boleh kawin dengan kasta rendah tp turunan anak-anaknya tidak diakui kastanya

    BalasHapus

Posting Komentar